Beranda | Artikel
Harta Gono-Gini
Selasa, 28 Februari 2017

HARTA GONO-GINI

Pertanyaan.

Assalamualaikum. Apakah dalam Islam ada yang namanya harta gono gini? Kalau memang ada, bagaimana pembagian harta rumah yang masih dalam proses kredit? Saat bercerai kredit baru berjalan dua tahun dari 10 tahun masa kredit dan saat ini yang melanjutkan kredit adalah suami. Saat pengambilan rumah ada uang mukanya. Mohon penjelasannya pak ustadz supaya tidak ada beban dalam diri saya

Jawaban.

Harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Demikian pengertian harta gono-gini yang sesuai dengan pasal 35 UU Perkawinan di Indonesia. Sedangkan menurut Islam tidak ada harta gono-gini. Tidak ada dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah tentang adanya harta gono-gini tadi.

Secara global Islam membagi harta menjadi 2 bagian :

1. Harta pribadi, yaitu harta yang dimiliki masing-masing baik suami maupun istri. Harta ini sepenuhnya dimiliki suami ataupun istri, tidak boleh antara keduanya merasa memiliki harta yang dimiliki pasangannya. Harta itu tetap menjadi hak milik masing-masing. Contoh :

  1. Harta milik suami yang didapatkan dari hasi kerjanya, maka harus dipisah harta suami pribadi dan nafkah untuk istri dan keluarga.
  2. Harta suami yang merupakan warisan orang tuanya, maka itu menjadi milik suami sepenuhnya.
  3. Harta milik istri yang didapatkan dari suami sebagai nafkah untuknya, maka itu menjadi milik istri.
  4. Mahar suami kepada istrinya, maka itu menjadi milik istri.
  5. Harta istri yang merupakan warisan orang tuanya ataupun harta yang didapatkan dari hasil usahanya sendiri, maka itu menjadi milik istri.
  6. Dan lain-lain

2. Harta milik bersama, yaitu harta yang dimiliki oleh pasangan suami istri dari hasil usaha bersama atau usaha masing-masing yang kemudian digabung kepemilikannya dan tidak dipisah, maka harta seperti ini menjadi milik bersama dan inilah yang sering terjadi di Indonesia.

Ketika terjadi perceraian antara pasangan suami istri, maka harta yang menjadi milik pribadi, kepemilikannya tetap menjadi milik pribadi baik suami maupun istri. Adapun harta yang menjadi milik bersama antara suami dan istri, maka bisa diselesaikan dengan perdamaian (ash-Shulh) antara suami dan istri sesuai dengan kesepakatan keduanya.

Ini sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ ۚ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarny, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allâh adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [An-Nisa’/4:128]

Juga firman-Nya:

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allâh, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” [An-Nisa’/4:114]

Kemudian Sabda Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم  :

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالاً

Ash-Shulh (Perdamaian) itu boleh diantara kaum Muslimin, kecuali perdamaian (yang) menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” [HR. Abu Dawud, no. 3594; At-Tirmidzi, no. 1352; Ibnu Mâjah, no. 1905, dan Syaikh al-Albani t menilai hadits ini Shahih]

Apabila tidak dapat diselesaikan dengan jalan damai, maka diselesaikan dengan cara menyerahkan permasahan tersebut kepada Hakim. Hakim yang memutuskan setelah melihat bukti-bukti yang dipaparkan oleh kedua belah pihak, baik suami maupun istri dengan keputusan yang adil, tidak harus dengan pembagian 50% – 50%. Tetapi, berdasarkan pengakuan dari suami ataupun istri dan juga bukti-bukti yang disampaikan oleh keduanya.

Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ

Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil. [Shaad/38:26]

Kemudian sabda Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم  :

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ

Apabila (seorang) hakim menghakimi lalu dia berijtihad kemudian ia benar dalam ijtihadnya maka baginya dua pahala. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Adapun pembagian harta berupa rumah yang masih dalam proses kredit saat bercerai dengan melihat beberapa hal :

  1. Uang siapa yang dulu digunakan untuk membayar uang muka ketika pengambilan rumah tersebut, uang pribadi (suami atau istri) atau uang bersama?
  2. Ketika membayar angsuran selama dua tahun menggunakan uang bersama atau uang pribadi.

Jika pembayaran uang muka untuk pengambilan rumah tersebut menggunakan uang pribadi (suami) dan pengansurannya selama dua tahun juga menggunakan uang pribadinya, maka rumah tersebut statusnya menjadi milik suami sepenuhnya. Begitu pula sebaliknya, ketika pengambilannya menggunakan uang pribadi (istri) dan pengangsurannya selama dua tahun menggunakan uang pribadi (istri), maka rumah tersebut statusnya menjadi milik istri sepenuhnya.

Adapun jika pembayaran uang muka dan angsurannya selama dua tahun menggunakan uang bersama, maka jalan pertama untuk menyelesaikan masalah ini dengan mengadakan ash-shulh atau perdamaian antara kedua belah pihak (suami dan istri). Yaitu dengan mengembalikan kepada suami ataupun istri uang mereka masing-masing dengan perkiraan berapa jumlah uang suami dan berapa jumlah uang istri ketika digunakan untuk membayar uang muka ataupun angsurannya. Kemudian hendaknya keduanya saling ridha dan lapang dada menerima kelebihan ataupun kekurangan biaya tersebut.

Jika jalan perdamaian tidak dapat menemukan titik temu antar kedua belah pihak, maka jalan kedua yang harus ditempuh adalah al-Qadha’. Yaitu, menyerahkan sepenuhnya kepada Hakim agar menyelesaikan masalah tersebut dengan meninjau bukti-bukti yang ada dan melihat mana yang paling baik untuk keduanya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6461-harta-gonogini.html